Assalamualaikum
wr wb ,,,
Seperti kita ketahui bersama , bahwasanya negara indonesia ini pernah menggunakan
berbagai sistem pemerintahann, pada zaman presiden Soekarno , Presiden Soeharto
, dan jaman reformasi setelah lengsernya Soeharto ,, dalam perjalanannya tidak
sedikit terjadi penyimpangan - penyimpangan yang terjadi pada saat masa orde
lama , orde baru maupun reformasi sekarang ini untuk itu mari kita bahas apa
saja bentuk - bentuk penyimpangan tersebut ...
Berbagai penyimpangan terhadap
konstitusi-konstitusi di Indonesia, dibedakan atas dua kurun waktu, yaitu:
A. Sejak ditetapkannya
UUD 1945 oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sampai berlakunya konstitusi RIS 27
Desember 1949.
1.
Periode 1945-1949
Pada awal kemerdekaan negara Indonesia
masih dalam masa peralihan hukum dan pemerintahan, yang bertekad mempertahankan
kemerdekaan yang baru diproklamasikan. Segala perhatian ditujukan untuk
memenangkan kemerdekaan sehingga dalam pelaksanaan UUD 1945 terjadi
penyimpangan-penyimpangan konstitusional.
Sistem pemerintahan belum dilaksanakan
sepenuhnya. Pada saat itu, berlaku pasal IV Aturan Peralihan yang menetapkan
segala kekuasaan negara dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional
(sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut UUD 1945). Komite Nasional adalah
penjelmaan kebulatan tujuan dan cita-cita bangsa untuk menyelenggarakan
kemerdekaan Indonesia yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Usaha Komite Nasional
adalah:
1)
Menyatakan kemauan rakyat Indonesia untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka
2)
Mempersatukan rakyat dari berbagai lapisan dan jabatan supaya terpadu pada
segala tempat di seluruh Indonesia, persatuan kebangsaan yang bulat dan erat;
3)
Membantu menentramkan rakyat dan turut menjaga keselamatan umum;
4) Membantu pimpinan
dalam penyelenggaraan cita-cita bangsa Indonesia dan di daerah membantu
pemerintah daerah untuk kesejahteraan umum;
Penyimpangan konstitusional yang terjadi
pada awal kemerdekaan yaitu:
1) Komite Nasional Pusat
berubah fungsi dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan
legislatif yang ikut menentukan Garis-Garis Besar Haluan Negara, atas dasar
Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945 “Bahwa Komite Nasional
Pusat, sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara, serta meyetujui bahwa
pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung gentingnya keadaan
dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan
bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat”.
2) Adanya perubahan
sistem kabinet presidensial menjadi cabinet parlementer, setelah dikeluarkannya
Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Akibatnya dibentuklah kabinet
yang pertama negara RI yang dipimpin Perdana Menteri Sutan Syahri Pemerintahan
parlementer tidak berjalan sebagaimana harapan Maklumat Pemerintahan 14
November 1945, karena keadaan politik dan keamanan negara, misalnya penculikan
Perdana Menteri Sutan Syahrir 2 Oktober 1946, serangan umum Belanda tahun 1947,
dan pemberontakan PKI Madiun. Kejadian ini memaksa presiden untuk mengambil
alih kekuasaan menjadi system pemerintahan presidensial.
2.
Periode Konstusi RIS (27 Desember 1949-17 Agustus 1950)
Periode ini ditandai dengan berlakunya
negara Republik Indonesia Serikat sebagai akibat perjanjian Konferensi Meja
Bundar, yang isinya:
1)
Didirikannya negara Republik Indonesia Serikat.
2)
Pengakuan kedaulatan oleh pemerintah kerajaan Belanda kepada negara
Republik Indonesia Serikat.
3)
Didirikannya Uni antara RIS dan kerajaan Belanda.
Berdirinya negara RIS dengan Konstitusi
RIS (yang terdiri dari Mukadimah 4 alinea, 6 bab, 197 pasal dan lampiran)
sebagai undang-undang dasarnya, menimbulkan penyimpangan, antara lain:
1)
Negara RI hanya berstatus sebagai salah satu negara bagian, dengan wilayah
kekuasaan daerah sebagaimana dalam persetujuan Renville dan sesuai dengan bunyi
pasal 2 Konstitusi RIS.
2)
UUD 1945 sejak tanggal 27 Desember 1949 hanya berstatus sebagai UUD negara
bagian RI.
3)
Demokrasi yang berkembang adalah demokrasi liberal.
4)
Berlakunya sistem parlementer yaitu pemerintahan bertanggung jawab kepada
parlemen (DPR). Pemerintahan dikepalai seorang Perdana Menteri, sedangkan
Presiden sebagai Kepala Negara.
5)
Sebagai akibat sistem parlementer, kabinet tidak mampu melaksanakan
programnya dengan baik dan dinilai negatif oleh DPR.
6)
Terjadinya pertentangan politik di antara partai-partai politik saat itu
(yang bercorak agama, nasionalis, kedaerahan dan sosialis, dengan system
multipartai).
Negara bagian bukanlah bentuk negara
yang diharapkan oleh seluruh rakyat Indonesia, sehingga timbul reaksi rakyat
untuk kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Satu persatu negara bagian
menggabungkan diri kepada negara RI, yang berpusat di Yogyakarta. Penggabungan
negara berdasarkan pasal 44 Konstitusi RIS 1949 dan Undang-Undang Darurat Nomor
11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan Wilayah RIS,
Lembaran Negara No. 16 Tahun 1950 (mulai berlaku 9 Maret 1950). Akibat
penggabungan ini, maka Negara RIS hanya memiliki tiga negara bagian yaitu
Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur.
Kemudian Negara RI dan RIS (wakil Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera
Timur) bermusyawarah untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Musyawarah antara negara RI dan RIS mencapai kata sepakat untuk membentuk
negara kesatuan pada tanggal 19 Mei 1950. Kesepakatan itu dituangkan dalam
Piagam Persetujuan RI-RIS, yang oleh Dr. Moh.Hatta (pemegang mandat dua negara
bagian) dan Mr. A. Halim (pemerintah RI).
Pada tanggal 15 Agustus 1950, menurut
pasal 1 UU No. 7 Tahun 1950 ditetapkan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD
Sementara Republik Indonesia (dikenal dengan UUDS 50 yang terdiri dari 4
alinea, 6 bab, dan 146 pasal). UUDS 50 ini mulai berlaku pada tanggal 17
Agustus 1950.
3.
Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959)
Sejak berlakunya UUDS 1950, maka tidak
berlaku lagi UUD 1945, karena negara kesatuan tidak mengenal UUD lain. UUD 1945
dikenal sebagai dokumen sejarah sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli
1959.
Ciri pemerintahan pada masa UUDS 1950 adalah:
1)
Berlaku sistem kabinet parlementer, yang menimbulkan tujuh kali pergantian
kabinet (dari 1950-1959) yaitu:
a) Kabinet Natsir, (6 September 1950 - 27 April 1951)
b) Kabinet Sukiman, (27 April 1951 - 3 April 1952)
c) Kabinet Wilopo, (3 April 1952 - 30 Juli 1953)
d) Kabinet Ali Sastroamidjoyo, (30 Juli 1953 - 12 Agustus 1955)
e) Kabinet Burhanudin Harahap, (12 Agustus 1955 - 24 Maret 1956)
f) Kabinet Ali Sastroamidjoyo, (24 Maret 1956 - 9 April 1957)
g) Kabinet Djuanda, (9 April 1957 - 10 Juli 1959)
2)
Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat (pasal 83 ayat 1
UUDS 1950).
3)
Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah,
baik bersama-sama untuk keseluruhan maupun masingmasing untuk bagiannya
sendiri-sendiri. (pasal 83 ayat (2) UUDS 1950).
4)
Presiden berhak membubarkan DPR, dengan ketentuan harus mengadakan
pemilihan DPR baru dalam 30 hari.
5)
Dilaksanakannya pemilu yang pertama setelah Indonesia merdeka, yaitu pada
masa cabinet Burhanudin Harahap (1955). Pemilu dilaksanakan dua kali yaitu:
·
29 September 1955 untuk memilih anggota DPR.
· 15 Desember 1955 untuk
memilih anggota Konstituante. (Konstituante bersama pemerintah petugas membuat
rancangan UUD sebagai pengganti UUDS 1950, secepat-cepatnya sebagaimana
tertuang dalam pasal 134 UUDS 1949).
6)
Konstituante gagal menetapkan UUD yang tetap sebagai pengganti UUDS 1950.
Kegagalan ini dianggap oleh Presiden Soekarno dapat membahayakan keselamatan
dan keutuhan bangsa dan negara. Oleh karena itu, dengan dukungan sebagian besar
rakyat Indonesia, presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang
kembalinya kepada UUD 1945 yang terdiri dari Pembukaan UUD 1945; Batang Tubuh
16 bab, 37 pasal, 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan).
B. Sejak diumumkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai sekarang, yang terbagi atas masa Orde Lama,
Orde Baru, dan masa Era Global (Reformasi). Pelaksanaan berlakunya
konstitusi-konstitusi di Indonesia (UUD 1945 I, Konstitusi RIS, UUDS 1950, dan
UUD 1945 II) telah melahirkan berbagai penyimpangan secara konstitusional dalam
kehidupan ketatanegaraan RI. Berikut ini akan diuraikan contoh
penyimpangan-penyimpangan itu.
1.
Berbagai Penyimpangan Pada Masa Orde Lama (1959-1965)
Pada masa Orde Lama lembaga-lembaga
negara MPR, DPR, DPA dan BPK masih dalam bentuk sementara, belum berdasarkan
undang-undang sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945. Beberapa penyimpangan yang
terjadi pada masa Orde Lama, antara lain:
a. Presiden selaku
pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif (bersama DPR) telah mengeluarkan
ketentuan perundangan yang tidak ada dalam UUD 1945 dalam bentuk penetapan
presiden tanpa persetujuan DPR.
b.
Melalui Ketetapan No. I/MPRS/1960, MPR menetapkan pidato presiden 17
Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” (Manifesto Politik
Republik Indonesia) sebagai GBHN bersifat tetap. Hal ini tidak sesuai dengan
UUD 1945.
c.
MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Hal ini
bertentangan dengan UUD 1945, karena DPR menolak APBN yang diajukan oleh
presiden. Kemudian presiden membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR), yang
anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
d.
Presiden membubarkan DPR hasil pemilu 1955, karena DPR menolak APBN yang
diajukan oleh presiden. Kemudian presiden membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR),
yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
e.
Pimpinan lembaga-lembaga negara dijadikan menteri-menteri negara, termasuk
pimpinan MPR kedudukannya sederajat dengan menteri. Sedangkan presiden menjadi
anggota DPA.
f.
Demokrasi yang berkembang adalah demokrasi terpimpin.
g. Berubahnya arah politik
luar negeri dari bebas dan aktif menjadi politik yang memihak salah satu blok.
Beberapa penyimpangan tersebut
mengakibatkan tidak berjalannya sistem sebagaimana UUD 1945, memburuknya
keadaan politik, keamanan dan ekonomi sehingga mencapai puncaknya pada
pemberontakan G-30-S/PKI. Pemberontakan ini dapat digagalkan oleh
kekuatan-kekuatan yang melahirkan pemerintahan Orde Baru.
2.
Berbagai Penyimpangan Pada Masa Orde Baru (1965-1998)
Orde Baru sebagai pemerintahan yang
berniat mengoreksi penyelewenangan di masa Orde Lama dengan menumbuhkan
kekuatan bangsa, stabilitas nasional dan proses pembangunan, bertekad
melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Bentuk koreksi terhadap Orde
Lama, yaitu melalui:
a.
Sidang MPRS yang menghasilkan:
1) Pengukuhan Supersemar
melalui Tap. No. IX/MPRS/1966. (Lahirnya Supersemar dianggap sebagai lahirnya
pemerintahan Orde Baru).
2) Penegasan kembali
landasan Kebijakan Politik Luar Negeri Republik Indonesia (TAP No.
XII/MPRS/1966).
3)
Pembaharuan Kebijakan Landasan Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan
(TAP No. XXIII/MPRS/1966).
4)
Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya (TAP No. XXV/MPRS/1966).
5) Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara
dari Presiden Soekarno (TAP No. XXXIII/MPRS/1966).
6) Pengangkatan Soeharto
sebagai Presiden sampai dengan terpilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilihan
umum (TAP No. XLIV/MPRS/1968).
b.
Pembentukan undang-undang oleh Pemerintah bersama DPR terdiri dari:
1) UU No. 3 Tahun 1967
tentang DPA yang diubah dengan UU No. 4 Tahun 1978.
2) UU No. 15 Tahun 1969
tentang Pemilu.
3) UU No. 16 Tahun 1969
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
4) UU No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan UU No. 14 Tahun 1985
tentang MA.
5) UU No. 5 Tahun 1973
tentang Susunan dan Kedudukan BPK.
c.
Pembahasan rancangan undang-undang tentang pemilu yang memutuskan 12
persetujuan, yaitu:
1) Jumlah anggota DPR
tidak boleh dibesar-besarkan.
2) Ada perimbangan antara
wakil dari Pulau Jawa dan luar Jawa.
3) Diperhatikannya faktor
jumlah penduduk.
4) Ada anggota yang
diangkat dan yang dipilih.
5) Setiap kabupaten
dijamin satu wakil.
6) Persyaratan tempat
tinggal calon harus dihapuskan.
7) Yang diangkat adalah
wakil dari ABRI dan sebagian sipil.
8) Jumlah anggota MPR
yang diangkat sepertiga dari seluruh anggota MPR.
9) Jumlah anggota DPR
adalah 460 terdiri dari 360 yang dipilih dan 100 yang diangkat.
10) Sistem pemilu adalah perwakilan
berimbang sederhana.
11) Sistem pencalonan adalah stelsel daftar.
12) Daerah pemilihan adalah Daerah Tingkat
I.
Di samping koreksi tersebut pemerintahan
Orde Baru telah melakukan berbagai penyimpangan, antara lain:
a.
Dalam praktek pemilihan umum, terjadi pelanggaran misalnya:
1)
Terpengaruhnya pilihan rakyat oleh campur tangan birokrasi.
2)
Panitia pemilu tidak independen.
3)
Kompetisi antarkontestan tidak leluasa.
4)
Penghitungan suara tidak jujur.
5)
Kampanye terhambat oleh aparat keamanan/perizinan.
6)
TPS dibuat di kantor-kantor.
7)
Pemungutan suara dilaksanakan pada hari kerja.
8)
Pemilih pendukung Golkar diberi formulir A-B, 5 sampai 10 lembar seorang.
b.
Di bidang politik, antara lain:
1) Ditetapkannya calon
resmi partai politik dan Golkar dari keluarga presiden atau yang terlibat
dengan bisnis keluarga presiden, dan calon anggota DPR/MPR yang monoloyalitas
terhadap presiden (lahirnya budaya paternalisti /kebapakan dan feodal gaya
baru).
2) Tidak berfungsinya
kontrol dari lembaga kenegaraan politik dan sosial, karena didominasi kekuasaan
presiden/eksekutif yang tertutup sehingga memicu budaya korupsi kolusi dan
nepotisme.
3) Golkar secara terbuka
melakukan kegiatan politik sampai ke desa-desa, sedangkan parpol hanya sampai
kabupaten.
4) Ormas hanya
diperbolehkan berafiliasi kepada Golkar.
5) Berlakunya demokrasi
terpimpin konstitusional (Eep Saefulloh Fatah, 1997: 26).
c.
Di bidang hukum, antara lain:
1) Belum memadainya
perundang-undangan tentang batasan kekuasaan presiden dan adanya banyak
penafsiran terhadap pasal-pasal UUD 1945.
2) Tidak tegaknya supremasi hukum karena
penegak hukum tidak konsisten, adanya mafia peradilan, dan banyaknya praktek
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini tidak menjamin rasa adil, pengayoman
dan kepastian hukum bagi masyarakat.
3) Ada penyimpangan sekurang-kurangnya 79
Kepres (1993-1998) yang dijadikan alat kekuasaan sehingga penyelewengan
terlindungi secara legal dan berlangsung lama (hasil kajian hukum masyarakat
transparansi Indonesia).
d.
Di bidang ekonomi, antara lain:
1) Perekonomian nasional
sebagaimana diamanatkan pasal 33 UUD 1945 tidak terpenuhi, karena munculnya
pola monopoli terpuruk dan tidak bersaing. Akses ekonomi kerakyatan sangat
minim.
2) Keberhasilan
pembangunan yang tidak merata menimbulkan kesenjangan antara yang kaya dan
miskin serta merebaknya KKN.
3) Bercampurnya institusi negara dan
swasta, misalnya bercampurnya jabatan publik, perusahaan serta yayasan sehingga
pemegang kekuasaan dan keuntungan menjadi pemenang serta mengambil keuntungan
secara tidak adil. Sebagai contoh kasus-kasus Kepres Mobil Nasional, Institusi
Bulog, subordinasi Bank Indonesia, dan proteksi Chandra Asri.
4) Adanya korporatisme
yang bersifat sentralis, ditandai oleh urbanisasi besar-besaran dari desa ke
kota atau dari daerah ke pusat. Korporatisme ialah sistem kenegaraan dimana
pemerintah dan swasta saling berhubungan secara tertutup satu sama lain, yang
ciri-cirinya antara lain keuntungan ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir
pelaku ekonomi yang dekat dengan kekuasaan, dan adanya kolusi antara kelompok
kepentingan ekonomi serta kelompok kepentingan politik.
5) Perkembangan utang
luar negeri dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Menurut Dikdik J. Rachbini
(2001:17-22) pada tahun 1980- 1999 mencapai 129 miliar dolar AS, yang berarti aliran
modal ke luar negeri pada masa ini mencapai angka lebih dari seribu triliun.
Sementara kebijakan utang luar negeri tercemar oleh kelompok pemburu keuntungan
yang berkolusi dengan pemegang kekuasaan. Kebijakan pemerintah dianggap benar,
sedangkan kritik dan partisipasi masyarakat lemah. Kombinasi utang luar negeri
pemerintah dengan swasta (yang memiliki utang luar negeri berlebihan) menambah
berat beban perekonomian negara kita.
6) Tahun 1997 Indonesia
dilanda krisis ekonomi yang ditandai naiknya harga kebutuhan pokok dan
menurunnya daya beli masyarakat. Krisis ini melahirkan krisis politik, yaitu
ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Soeharto. Krisis ekonomi yang
berkepanjangan, besarnya utang yang harus dipikul oleh negara, meningkatnya
pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan sosial, menumbuhkan krisis di berbagai
bidang kehidupan. Hal ini mendorong timbulnya gerakan masyarakat terhadap
pemerintah, yang dipelopori oleh para mahasiswa dan dosen. Demonstrasi
besar-besaran pada tanggal 20 Mei 1998 merupakan puncak keruntuhan Orde Baru,
yang diakhiri dengan penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada B.J.
Habibie pada tanggal 21 Mei 1998.
3.
Berbagai Penyimpangan Pada Era Global (Reformasi)
Berbagai penyimpangan telah terjadi selama era Reformasi, antara lain:
a. Belum terlaksananya
kebijakan pemerintahan Habibie karena pembuatan perudang-undangan menunjukkan
secara tergesa-gesa, sekalipun perekonomian menunjukkan perbaikan dibandingkan
saat jatuhnya Presiden Soeharto.
b. Kasus pembubaran
Departemen Sosial dan Departemen Penerangan pada masa pemerintahan Abdurachman
Wahid, menciptakan persoalan baru bagi rakyat banyak karena tidak dipikirkan
penggantinya.
c. Ada perseteruan antara DPR dan Presiden
Abdurachman Wahid yang berlanjut dengan Memorandum I dan II berkaitan dengan
kasus “Brunei Gate” dan “Bulog Gate”, kemudian MPR memberhentikan presiden
karena dianggap melanggar haluan negara.
d. Baik pada masa
pemerintahan Abdurachman Wahid maupun Megawati, belum terselesaikan masalah
konflik Aceh, Maluku, Papua, Kalimantan Tengah dan ancaman disintegrasi
lainnya.
e.
Belum maksimalnya penyelesaian masalah pemberantasan KKN, kasus-kasus
pelanggaran HAM, terorisme, reformasi birokrasi, pengangguran, pemulihan investasi,
kredibilitas aparatur negara, utang domestik, kesehatan dan pendidikan serta
kerukunan beragama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar